Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ) dalam waktu dekat ini akan melakukan suatu perubahan besar – besaran. Perubahan yang dimaksud adalah melakukan modernisasi DJP dan lingkungannya termasuk Kantor Pelayanan Pajak ( KPP ). Mungkin wacana ini sudah sering terdengar, namun kenapa modernisasi baru gencar dilaksanakan dalam akhir – akhir ini? Padahal batas akhir realisasinya untuk seluruh Indonesia adalah pada tahun 2009.
Modernisasi DJP merupakan sebagai salah satu konsekuensi yang harus dijalankan oleh Indonesia akibat MoU pinjaman negara dengan IMF sekitar tahun 2000. Pada saat itu IMF secara tegas menyebutkan ingin “ membantu “ Indonesia memperbaiki penerimaan negara. Ada dua Direktorat yang sangat disorot oleh IMF yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ( DJBC ) serta DJP. Sebab DJP dan DJBC merupakan sumber penerimaan terbesar bagi negara sehinga diharapkan target penerimaan negara dapat terpenuhi.
Jika dilihat dari pendapat masyarakat memang benar pilihan IMF untuk melakukan perombakan di dua Ditjen yang “ kotor “ tersebut. Banyak sekali kebobrokan yang terjadi di dalamnya. Namun yang harus diwaspadai, apakah modernisasi akan sangat membantu membersihkan DJP dan DJBC? Sebagai kantor percobaan pertama di DJP adalah Kantor Wajib Pajak Besar ( LTO ).
Sebenarnya modernisasi yang dilakukan di DJP tidak mengakibatkan perubahan total. Ada tiga hal utama yang menjadi pembeda kantor yang sudah modern dengan yang belum modern ( non modern ).
Pertama, pada kantor modern struktur organisasi didesain sesuai fungsi dan tugas pelayanan. Sedangkan di kantor non modern struktur organisasi dibuat berdasarkan jenis pajak. Jadi saat ini sudah tidak ada lagi seksi PPh, seksi PPN, dan lain - lain akan tetapi berubah menjadi seksi Pelayanan, seksi Pengawasan dan Konsultasi, dan lain – lain.
Kedua, di kantor pajak modern semua pegawai diwajibkan menandatangani kode etik yang mengharamkan mereka “ bermain “ dengan WP. Jika kode etik dilanggar, bakal dikenakan sanksi tegas. Apalagi DJP kini diawasi oleh Mar'ie Muhammad dan Marsilam Simandjuntak yang dikenal tegas dan ketat.
Kewajiban menandatangani kode etik hanya bagi karyawan di kantor pajak modern, menimbulkan kesan bahwa di kantor non modern masih halal untuk “ bermain” dengan wajib pajak.
Ketiga, sebagai kompensasi mulai dari staf hingga pimpinan mendapat tunjangan kegiatan tambahan (TKT) dan tunjangan khusus (disebut TC/tunjangan chusus). Seorang kepala kanwil (eselon dua), misalnya, mendapat TKT Rpl6,6 juta sedangkan eselon di bawahnya mendapat Rpl0,8 juta. TKT terendah adalah pengatur muda (golongan II a), yang mendapat Rp2,6 juta. Komponen TKT dan TC ini membuat gaji Ditjen Pajak lebih tinggi dibandingkan Menteri Keuangan sendiri.
Seperti pada kantor pelayanan, kantor pusat juga dibuat mengikuti fungsi. Atas dasar itu, beberapa fungsi direktorat dipecah untuk kemudian digabung lagi pada direktorat yang baru. Sehingga terlihat DJP saat ini menjadi menggelembung.
Melihat bagan baru itu, ada beberapa pertanyaan yang menggelitik. Pertama, sistem modern yang dikembangkan DJP katanya berbasis otomatisasi. Jika ini yang diinginkan, seharusnya organisasi menjadi lebih ramping. Bukan justru digelembungkan dengan pembagian menurut fungsi seperti itu.
Kedua, organisasi baru justru dapat mengaburkan tanggungjawab yang ada. Selama ini misalnya jika target penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) tidak tercapai, maka Direktur PPh yang dipelototi oleh Dirjen Pajak. Lalu Direktur PPh gantian memelototi Kepala Kanwil dan Kepala KPP. Kepala Kanwil dan Kepala KPP ganti memelototi Kepala bidang PPh atau Kepala seksi PPh.
Organisasi yang baru seperti saat ini terlihat sangat aneh. Seolah – olah ada suatu ciri pajak yang hilang. Sehingga banyak kalangan di dalam DJP sendiri yang menganggap saat ini KPP seperti Kantor Kelurahan. Sebab yang ditonjolkan hanya berupa pelayanan tidak pada teknis pelaksanaan perpajakan.
Memang tidaklah mudah untuk melakukan perubahan ini. Dibutuhkan kerja sama banyak pihak sehingga usaha yang telah dilakukan tidak menjadi sia – sia. Selain itu yang menjadi unsur utama yaitu pelayanan harus benar – benar diwujudkan, sehingga masyarakat tidak perlu ketakutan lagi jika harus membayar pajak.
Semoga “ gambling “ yang dilakukan pemerintah dengan menerima tawaran IMF dapat berhasil. Tidak hanya sukses membersihkan DJP dari oknum – oknum yang kotor tetapi juga sukses meningkatkan penerimaan negara. Jika usaha ini berhasil sudah sepatutnya diikuti instansi – instansi lain di Indonesia yang tidak kalah bobroknya.( DM )
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment